Catatan ini mulai ditulis di Cirebon pada tanggal 23 Januari
2014.
Mengapa aku sangat ingin menjadi guru?
Mengapa aku berani mengambil banyak resiko untuk berjuang
menjadi bagian dari Civitas Akademika?
Mengapa aku harus berjuang dan berkorban seperti itu?
Mengapa aku meninggalkan kampus “TUNAS” demi mimpi masa kecilku
itu?
salah satu alasanku..
“…karena jiwaku terpanggil ketika aku bertemu mereka…”
![]() |
Ibuku |
Ibuku bernama Yani. Nama yang
sangat sederhana bukan? Bagiku beliau adalah sosok guru terhebat. Dulu ketika
aku kecil, Ayah dan Ibu tidak mampu memasukkan aku ke Taman Kanak-kanak (TK).
Aku hanya dapat menikmati bangku Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang saat itu
terbilang murah dan hanya mengajarkan anak didiknya membaca Iqra’ dan ajaran
agama Islam saja. Saat itu, TPA sebagai lembaga pendidikan pertamaku berada
didalam masjid Nurul Mubin yang tak memiliki kursi, meja bahkan papan
tulisnyapun sangat kecil. Setiap kelas hanya dipisah dengan papan yang panjang sebagai
pembatas antar kelas. Tentu saja itu terjadi karena pada saat itu Ayah dan Ibuku
hanya seorang guru honor di Sekolah Dasar (SD) yang pendapatannya sangat kecil
sekali. Rumah kami bahkan belum memiliki toilet sama sekali saat itu,
bayangkan!
Aku
sangat bersyukur, saat itu Ibu adalah orang yang berpikiran luas, beliaulah
yang mengajarkan aku membaca dan menulis sebelum aku masuk Sekolah Dasar (SD).
Bagi Ibuku mengajarkan aku membaca, menulis dan bersepeda sebelum aku sekolah
adalah target yang harus dicapainya. Masih aku ingat dengan baik, saat itu Ibu
seringkali membacakan aku buku cerita sebelum aku tidur sampai akhirnya aku
tertarik untuk dapat membaca sendiri. Kesempatan itu digunakan Ibu dengan baik.
Beliau mengajarkan aku membaca setiap malam, mulai dari A, B, C, D, E dan
seterusnya sampai buku berjudul “Bacalah” sepenuhnya diajarkan padaku. Jika aku
ingat kembali, betapa Ibu sangat sabar mengajariku membaca dan menulis agar
kelak ketika aku masuk sekolah nanti, aku tak kalah bersaing dengan mereka yang
mampu memasuki bangku TK sebelumnya.
Ketika usiaku mencapai umur
7 tahun aku mulai memasuki bangku sekolah dasar di SDN 2 Gombang. Hal itu
dilakukan karena pandangan Ibu yang percaya bahwa umur 7 tahun adalah umur yang
tepat untuk menerima materi sekolah dasar. Padahal rata-rata usia teman
sekelasku adalah 6 tahun. Suatu hari ketika Ibu Eni – guru wali kelas 1 –
menulis huruf L di papan tulis dengan kapurnya besar-besar seolah menunjukkan
beginilah huruf L kepada anak didiknya kemudian bertanya dengan suara
khasnya “Anak-anak ini huruf apa ya?” sontak semua teman-temanku menjawab “L…”
dan saat itu aku yang duduk paling depan baris kedua dari meja guru hanya bisa
melihat, mendengar dan menyimak dengan bingung. Aku kembali ke rumah dan
menangis, mengadu pada Ibu bahwa aku tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu Eni
seperti teman-temanku. Dengan sabar, Ibuku mengajarkan aku dengan lebih giat lagi… dan
hasilnya, aku bisa mendapatkan peringkat satu selama 6 tahun berturut-turut di
sekolah dasar. Iyah, selama di sekolah dasar aku hanya kalah bersaing sekali
saja, yaitu ketika aku mendapatkan urutan kedua dengan nilai UN tertinggi di
sekolah setelah sahabatku - Inayah Mulia Dewi – yang dengan sempurna mendapatkan predikat siswi dengan nilai UN tertinggi di sekolah.
Salah
satu didikan Ibu yang hebat adalah ketika aku kecil, Ibu memberiku hadiah
tabungan berbentuk rumah. Rumah kecil yang manis dengar warna merah muda yang
lembut. Saat itu Ibu berkata “Uang jajannya disisain buat ditabung yah, Dek.
Nanti kalau sudah banyak, Dedek bisa beli mainan apa aja.” Aku yang masih polos
tersenyum dan merasa sangat senang. Mulai saat itu pula aku selalu menabung
sampai akhirnya aku dapat membeli sepaket mainan besar rumah-rumahan. Ibuku
berkata “Hebat, masih kecil udah bisa beli mainan sendiri”. Pujian selalu
terlontar dimulut Ibuku bahkan dimulut semua tetangga yang Ibu ceritakan dengan
antusias mengenai aku - putri kecilnya - yang telah mampu menabung untuk membeli
mainannya sendiri. Mulai saat itu pula, aku selalu membeli barang apapun yang
aku inginkan dengan uang tabunganku. Hal itu terjadi sampai saat ini, terkadang
memang sebagai manusia aku sangat iri dengan teman-temanku yang selalu minta
dibelikan apapun hanya dengan berkata “Ma, Pa aku mau beli ini… aku ingin beli
itu…” sedangkan aku harus sabar menunggu uang tabunganku cukup untuk
mendapatkan apapun yang aku inginkan.
Ada
satu perjuangan yang aku suka karena didikan "politik tabungan" Ibu
ini, saat itu aku masih bersekolah di SMAN 2 Cirebon kelas XI. Aku sangat ingin
membeli hp baru yang pada saat itu QWERTY masih sangat keren dimata anak sekolah
sepertiku. Hpku yang viTell - hadiah omku setelah pulang dari Jepang - sudah
rusak dan aku hanya menggunakan hp Nokia 6070 saat itu. Aku bertekad akan
membeli hp dengan “Rencana 200 hari” yang mewajibkan aku menyisahkan Rp
5.000,00 setiap hari agar aku dapat memiliki uang Rp 1.000.000,00 dalam
jangka waktu 200 hari. Uang sakuku saat itu Rp 20.000,00. Uang untuk ongkos
pulang pergi bisa mencapai Rp 10.000,00 itu artinya aku harus jajan Rp 5.000,00
saja setiap hari selama 200 hari. Sekolahku termasuk sekolah yang elite,
letaknya saja ditengah kota, bahkan sekolahku itu termasuk SMA terbaik di
Cirebon. Jajanan disana, jangan ditanya, aku sangat kesulitan saat itu, semua
makanan terbilang mahal, es bungkus saja Rp 1000,00 dan aku selalu pulang sore
skitar pukul 16.00 WIB.
Faktanya,
mungkin jika aku minta kepada Ayah dan Ibu untuk membelikan aku hp, mungkin
mereka pasti akan membelikannya, meskipun sudah pasti lama terkabul, tapi entah
kenapa rasanya malu untuk meminta, sudah cukup bagiku mereka membuang banyak
uang untuk pendidikanku dan kehidupanku. Hp, baju, alat tulis, sepatu, tas,
pulsa selama masih bisa terbeli dengan uang tabunganku biarlah menjadi bebanku
sendiri. Bagiku selagi aku masih bisa menyisihkan uang jajanku, tak masalah
jika harus mengeluarkan uang tabunganku untuk membeli apa yang aku inginkan,
anggaplah ini seperti belajar bekerja dan mengatur uang untuk masa depanku.
Akhirnya, dengan susah payah Alhamdulillah, pada 4 Oktober 2011 aku bisa
membeli hp Nokia X2 dengan uang tabunganku.
Pelajaran
yang aku dapat dari didikan Ibu ini adalah apapun itu, jika diraih dengan usaha
sendiri hasilnya pasti akan memuaskan, kita tidak akan tega untuk merusaknya
sekalipun itu merupakan barang yang sudah terbilang sangat murah, lama, bekas
atau tidak berharga bagi sebagian orang sekalipun. Aku belajar hemat dan paham
akan sulitnya mencari uang. Aku menjadi lebih selektif dalam menggunakan uang,
mana yang harus aku dahulukan untuk aku beli mana yang harus aku beli nanti
saat uangku kembali terkumpul.
Semua
pengalaman itu pada dasarnya adalah pelajaran yang secara tidak langsung
membuka pikiranku untuk percaya bahwa mimpi apapun itu, jika ada niat dan usaha
sungguh-sungguh pastilah akan kita capai suatu saat nanti, meskipun berat,
meskipun butuh waktu lama... aku yakin setiap apa yang kita lakukan pasti akan
dilihat oleh Allah swt, dan Allah swt akan memberi apa yang kita inginkan
sesuai waktunya.
Suatu
didikan kecil Ibu, membawa banyak manfaat untukku sampai hari ini... Ibuku,
adalah orang pertama motivatorku, beliau adalah alasan mengapa aku ingin
menjadi seorang pendidik :)