RSS

Ibuku Memang Hebat

“Aku sangat bersyukur kepada Allah swt yang telah menciptakan dan melahirkanku ditengah orang-orang seperti mereka.. Hidupku memang tidak sempurna, tidak selalu sesuai target, harapan dan mimpiku.. bahkan aku harus merasakan pahitnya kegagalan tertubi-tubi.. berlari, terbang kemudian jatuh, merangkak, bangkit, dan kembali berlari... kata orang, lebih baik kita banyak GAGAL dimasa muda, dibanding harus gagal ketika kita tua. Tulisan ini adalah sepenggal kisah nyata kehidupanku, yang mungkin tak akan pernah selesai sampai akhir hidupku…”

Catatan ini mulai ditulis di Cirebon pada tanggal 23 Januari 2014.

Mengapa aku sangat ingin menjadi guru?
Mengapa aku berani mengambil banyak resiko untuk berjuang menjadi bagian dari Civitas Akademika?
Mengapa aku harus berjuang dan berkorban seperti itu?
Mengapa aku meninggalkan kampus “TUNAS” demi mimpi masa kecilku itu?
salah satu alasanku..
“…karena jiwaku terpanggil ketika aku bertemu mereka…”

Ibuku
     Ibuku bernama Yani. Nama yang sangat sederhana bukan? Bagiku beliau adalah sosok guru terhebat. Dulu ketika aku kecil, Ayah dan Ibu tidak mampu memasukkan aku ke Taman Kanak-kanak (TK). Aku hanya dapat menikmati bangku Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang saat itu terbilang murah dan hanya mengajarkan anak didiknya membaca Iqra’ dan ajaran agama Islam saja. Saat itu, TPA sebagai lembaga pendidikan pertamaku berada didalam masjid Nurul Mubin yang tak memiliki kursi, meja bahkan papan tulisnyapun sangat kecil. Setiap kelas hanya dipisah dengan papan yang panjang sebagai pembatas antar kelas. Tentu saja itu terjadi karena pada saat itu Ayah dan Ibuku hanya seorang guru honor di Sekolah Dasar (SD) yang pendapatannya sangat kecil sekali. Rumah kami bahkan belum memiliki toilet sama sekali saat itu, bayangkan!

       Aku sangat bersyukur, saat itu Ibu adalah orang yang berpikiran luas, beliaulah yang mengajarkan aku membaca dan menulis sebelum aku masuk Sekolah Dasar (SD). Bagi Ibuku mengajarkan aku membaca, menulis dan bersepeda sebelum aku sekolah adalah target yang harus dicapainya. Masih aku ingat dengan baik, saat itu Ibu seringkali membacakan aku buku cerita sebelum aku tidur sampai akhirnya aku tertarik untuk dapat membaca sendiri. Kesempatan itu digunakan Ibu dengan baik. Beliau mengajarkan aku membaca setiap malam, mulai dari A, B, C, D, E dan seterusnya sampai buku berjudul “Bacalah” sepenuhnya diajarkan padaku. Jika aku ingat kembali, betapa Ibu sangat sabar mengajariku membaca dan menulis agar kelak ketika aku masuk sekolah nanti, aku tak kalah bersaing dengan mereka yang mampu memasuki bangku TK sebelumnya.

      Ketika usiaku mencapai umur 7 tahun aku mulai memasuki bangku sekolah dasar di SDN 2 Gombang. Hal itu dilakukan karena pandangan Ibu yang percaya bahwa umur 7 tahun adalah umur yang tepat untuk menerima materi sekolah dasar. Padahal rata-rata usia teman sekelasku adalah 6 tahun. Suatu hari ketika Ibu Eni – guru wali kelas 1 – menulis huruf L di papan tulis dengan kapurnya besar-besar seolah menunjukkan beginilah huruf L kepada anak didiknya  kemudian bertanya dengan suara khasnya “Anak-anak ini huruf apa ya?” sontak semua teman-temanku menjawab “L…” dan saat itu aku yang duduk paling depan baris kedua dari meja guru hanya bisa melihat, mendengar dan menyimak dengan bingung. Aku kembali ke rumah dan menangis, mengadu pada Ibu bahwa aku tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu Eni seperti teman-temanku. Dengan sabar, Ibuku mengajarkan aku dengan lebih giat lagi… dan hasilnya, aku bisa mendapatkan peringkat satu selama 6 tahun berturut-turut di sekolah dasar. Iyah, selama di sekolah dasar aku hanya kalah bersaing sekali saja, yaitu ketika aku mendapatkan urutan kedua dengan nilai UN tertinggi di sekolah setelah sahabatku - Inayah Mulia Dewi – yang dengan sempurna mendapatkan predikat siswi dengan nilai UN tertinggi di sekolah.

     Salah satu didikan Ibu yang hebat adalah ketika aku kecil, Ibu memberiku hadiah tabungan berbentuk rumah. Rumah kecil yang manis dengar warna merah muda yang lembut. Saat itu Ibu berkata “Uang jajannya disisain buat ditabung yah, Dek. Nanti kalau sudah banyak, Dedek bisa beli mainan apa aja.” Aku yang masih polos tersenyum dan merasa sangat senang. Mulai saat itu pula aku selalu menabung sampai akhirnya aku dapat membeli sepaket mainan besar rumah-rumahan. Ibuku berkata “Hebat, masih kecil udah bisa beli mainan sendiri”. Pujian selalu terlontar dimulut Ibuku bahkan dimulut semua tetangga yang Ibu ceritakan dengan antusias mengenai aku - putri kecilnya - yang telah mampu menabung untuk membeli mainannya sendiri. Mulai saat itu pula, aku selalu membeli barang apapun yang aku inginkan dengan uang tabunganku. Hal itu terjadi sampai saat ini, terkadang memang sebagai manusia aku sangat iri dengan teman-temanku yang selalu minta dibelikan apapun hanya dengan berkata “Ma, Pa aku mau beli ini… aku ingin beli itu…” sedangkan aku harus sabar menunggu uang tabunganku cukup untuk mendapatkan apapun yang aku inginkan.

       Ada satu perjuangan yang aku suka karena didikan "politik tabungan" Ibu ini, saat itu aku masih bersekolah di SMAN 2 Cirebon kelas XI. Aku sangat ingin membeli hp baru yang pada saat itu QWERTY masih sangat keren dimata anak sekolah sepertiku. Hpku yang viTell - hadiah omku setelah pulang dari Jepang - sudah rusak dan aku hanya menggunakan hp Nokia 6070 saat itu. Aku bertekad akan membeli hp dengan “Rencana 200 hari” yang mewajibkan aku menyisahkan Rp 5.000,00 setiap hari agar aku dapat memiliki uang Rp 1.000.000,00 dalam jangka waktu 200 hari. Uang sakuku saat itu Rp 20.000,00. Uang untuk ongkos pulang pergi bisa mencapai Rp 10.000,00 itu artinya aku harus jajan Rp 5.000,00 saja setiap hari selama 200 hari. Sekolahku termasuk sekolah yang elite, letaknya saja ditengah kota, bahkan sekolahku itu termasuk SMA terbaik di Cirebon. Jajanan disana, jangan ditanya, aku sangat kesulitan saat itu, semua makanan terbilang mahal, es bungkus saja Rp 1000,00 dan aku selalu pulang sore skitar pukul 16.00 WIB.



       Faktanya, mungkin jika aku minta kepada Ayah dan Ibu untuk membelikan aku hp, mungkin mereka pasti akan membelikannya, meskipun sudah pasti lama terkabul, tapi entah kenapa rasanya malu untuk meminta, sudah cukup bagiku mereka membuang banyak uang untuk pendidikanku dan kehidupanku. Hp, baju, alat tulis, sepatu, tas, pulsa selama masih bisa terbeli dengan uang tabunganku biarlah menjadi bebanku sendiri. Bagiku selagi aku masih bisa menyisihkan uang jajanku, tak masalah jika harus mengeluarkan uang tabunganku untuk membeli apa yang aku inginkan, anggaplah ini seperti belajar bekerja dan mengatur uang untuk masa depanku. Akhirnya, dengan susah payah Alhamdulillah, pada 4 Oktober 2011 aku bisa membeli hp Nokia X2 dengan uang tabunganku.

      Pelajaran yang aku dapat dari didikan Ibu ini adalah apapun itu, jika diraih dengan usaha sendiri hasilnya pasti akan memuaskan, kita tidak akan tega untuk merusaknya sekalipun itu merupakan barang yang sudah terbilang sangat murah, lama, bekas atau tidak berharga bagi sebagian orang sekalipun. Aku belajar hemat dan paham akan sulitnya mencari uang. Aku menjadi lebih selektif dalam menggunakan uang, mana yang harus aku dahulukan untuk aku beli mana yang harus aku beli nanti saat uangku kembali terkumpul.

     Semua pengalaman itu pada dasarnya adalah pelajaran yang secara tidak langsung membuka pikiranku untuk percaya bahwa mimpi apapun itu, jika ada niat dan usaha sungguh-sungguh pastilah akan kita capai suatu saat nanti, meskipun berat, meskipun butuh waktu lama... aku yakin setiap apa yang kita lakukan pasti akan dilihat oleh Allah swt, dan Allah swt akan memberi apa yang kita inginkan sesuai waktunya.

Suatu didikan kecil Ibu, membawa banyak manfaat untukku sampai hari ini... Ibuku, adalah orang pertama motivatorku, beliau adalah alasan mengapa aku ingin menjadi seorang pendidik :)  

Aku dan Ibu di Pangandaran


Salam : Intan Lenny.